Krisis Songbird akibat perdagangan di Indonesia

Populasi burung di Asia dalam kondisi krisis. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science dan Biological Conservation menyebutkan banyak burung penyanyi atau burung kicau (songbird) yang berada dalam sangkar dibanding yang terbang bebas di alam. Asia Tenggara adalah hotspot bagi perdagangan ilegal burung penyanyi yang ilegal dan tidak berkelanjutan, yang mengarah pada penurunan serius pada banyak spesies. Sebagian besar burung penyanyi dalam perdagangan diambil dari alam, dicari untuk kicaunnya yang menarik, bulu berwarna-warni dan kelangkaannya yang semakin meningkat. Jual beli songbird yang sebagian besar ditangkap dari alam liar, merupakan bisnis besar di berbagai wilayah di Asia terutama di Jawa.

Di Jawa sendiri memelihara burung merupakan budaya yang hingga kini masih terlihat. Dalam tradisi ini, seseorang akan dianggap hidup sempurna bila memiliki lima hal yang disyaratkan yaitu rumah (wisma), istri (garwa), keris (curiga), kuda tunggangan (turangga), dan kukila (burung). Memelihara burung dianggap dapat menghubungkan manusia dengan alam semesta, membawa keberuntungan, dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga. Inilah yang menjadi ancaman pelik karena konservasi burung berbanding terbalik dengan teori kesejahteraan masyarakat berbasis budaya.  Padahal Indonesia merupakan rumah bagi 1.666 jenis burung, 426 burung endemik, yang tragisnya 136 diantaranya terancan punah (Burung Indonesia, 2014). Salahsatu ancamannya adalah perburuan akibat perdagangan. Sekitar 75 juta songbird menjadi hewan peliharaan di rumah, dan banyak diantaranya diikutsertakan dalam kontes kicau burung terbaik. Bagaimanapun, budaya tersebut mendorong penangkapan burung penyanyi di alam liar, yang akhirnya mengancam keberlangsungan hidup sejumlah spesies. Penangkapan dan perdagangan tak terkendali merupakan ancaman nyata dan akan menyebabkan keseimbangan ekosistem alam terganggu.

Salah satu kasusnya, perdagangan burung ilegal terutama burung endemik Indonesia di pasar burung Jakarta masih tinggi. Studi ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jumlah burung terancam punah di Asia. Setidaknya sekitar 19.000 individu dari 206 jenis terus diperjualbelikan di tiga pasar besar di Jakarta saja. Jumlah burung yang diperdagangkan ini 98 persennya merupakan jenis burung endemik Indonesia dan diduga memang ditangkap langsung dari habitatnya (TRAFFIC, 2015). Delapan jenis yang banyak dilego di pasar tersebut antara lain Jalak bali (Leucopsar rothschildi) dalam kategori Kritis (Critically Endangered/CR); Jalak putih (Sturnus melanopterus) dalam status Kritis (CR); Poksai kuda (Garrulax rufifrons) dalam kriteria Genting (Endangered/EN); Gelatik jawa (Padda oryzivora) yang berstatus (EN); poksai sumatera (Garrulax bicolor) yang berstatus (EN); nuri bayan (Electus roratus) yang berstatus (LC); cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang berstatus (VU); dan bubut jawa (Centropus nigrorufus) yang berstatus (VU).

Di Maluku Utara, yang merupakan rumah bagi sembilan spesies burung paruh bengkok yang ada di wilayah tersebut, tiga di antaranya merupakan spesies endemis juga menjadi target perburuan serta perdagangan ilegal domestik dan internasional. Kakatua putih (Cacatua alba), nuri bayan (Eclectus roratus), dan kasturi ternate (Lorius garralus) adalah tiga spesies burung yang paling banyak diperdagangkan dari wilayah tersebut. Kakatua putih (EN) dan kasturi ternate (VU) merupakan spesies endemis dan sedang mengalami penurunan populasi yang signifikan karena eksploitasi berlebihan.

Catatan di Kalimantan Barat menyebutkan 25.298 individu dari 151 spesies diperdagangkan disana. 25,9% burung diasumsikan ditangkarkan, 23,9% tidak teridentifikasi, dan sisanya diperkirakan adalah tangkapan alam. Berikut ini adalah lima kelompok non-captive-bred dengan individu terbanyak di pasar: Zoosterops group (4.519 individu), Oriental Magpie Robin Copsychus saularis (2.708 individu), Shama Copsychus malabaricus (1.665 individu) yang memiliki pantat putih (1.665 individu), Javan Myna Acridotheres javanicus (1.432 individu), dan Greater Green Leafbird Chloropsis sonnerati (1.184 individu). Sebelas spesies diantaranya (7,1%) dilindungi dari perburuan dan perdagangan oleh hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Konservasi (No.5), 1990 dan Peraturan Pemerintah No.7, 1999. Sebelas spesies terdaftar sebagai terancam (Vulnerable, Endangered, or Critically Endangered), dan 20 spesies terdaftar sebagai Near Threatened oleh Redlist IUCN (IUCN, 2017). Empat belas spesies terdaftar di bawah Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah (CITES) Appendix II, dan dua terdaftar (1,3%) dalam CITES Appendix I.

Berikut ini adalah lima spesies non-captive-breed dengan harga rata-rata paling mahal di Kalimantan: Bali Starling Leucopsar rothschildi (US $ 888,56), Bulbul Pycnonotus zeylanicus (US $ 428,45) berkepala jerami, Helmeted Friarbird Philemon buceroides (US $ 296,19), Rufous Shama Copsychus pyrropygus (US $ 240,65) berekor, dan Bulbul Pycnonotus plumosus yang bersayap Zaitun (US $ 222,14). Menurut pemilik toko, sekitar 87% burung di pasar Kalimantan Barat berasal dari Kalimantan Barat, 12% di pulau Jawa, dan 1% sisanya di berbagai lokasi seperti Australia, Malaysia, Sumatra, dan Kalimantan Selatan dan Tengah . Di Kalimantan Barat, proporsi burung terbesar berasal dari Pontianak (31%) dan kemudian Kubu Raya (16%). Dan 6% hingga 8% berasal dari masing-masing kabupaten Sanggau, Kapaus Hulu, Bengkayang, Singkawang, Sambas, dan Ketapang. Dan yang terakhir, Sintang, Landak, Kayong Utara, Melawi, dan Sekadau masing-masing menyumbang 5% atau kurang dari asal burung yang diperjualbelikan.

Penulis: A.S. Rifai/ BISA Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »